Kekecewaan terhadap demokrasi ialah tidak mampu mengurangi ketidakadilan dan tidak mendorong pertumbuhan ekonomi.
Bahkan, tujuan minimalis demokrasi belum efektif (tidak pada janji redistribusi, tetapi lebih sebagai kemungkinan untuk bisa mengatur konflik secara damai).
Melalui analogi warga negara sebagai konsumen, akan dibongkar sebab yang melemahkan demokrasi. “Politik adalah arena yang menghasilkan produk-produk berupa masalah, program, analisis, komentar, konsep (UU, hukum), dan peristiwa. Beragam produk politik itu dihasilkan terutama dari persaingan di antara para pelaku politik, tetapi mereduksi warga negara biasa ke status konsumen. Warga negara sebagai konsumen harus memilih meski dengan risiko salah paham karena posisi mereka jauh dari tempat produksi” (P Bourdieu, 1981:3-4).
Mekanisme kontrol terhadap parpol
Membaca politik dengan khazanah ekonomi membantu melihat posisi warga negara biasa di arena politik. Sebagai konsumen, semua mempunyai akses sama ke politik. Dalam kenyataan, akses itu dibagi secara tidak setara. Pembagian itu ditentukan tingkat pendidikan, kepemilikan pada kelompok/agama, dan posisi geografis. Ketiga faktor ini mencerminkan besarnya kapital yang dimiliki (kapital budaya, sosial, ekonomi, dan simbolik). Kepemilikan kapital menentukan hubungan kekuasaan, yaitu daya tawar warga negara terhadap hak-hak mereka. Dalam sistem representasi, pilihan atau hak mereka dipercayakan kepada wakil yang dipilih.
Model pendelegasian itu menjadi salah satu sebab lemahnya pengawasan terhadap pelaksanaan kekuasaan: maraknya korupsi; tak peduli terhadap kepentingan rakyat, kepedulian hanya sebagai teknik politik pencitraan; kesejahteraan bersama diabaikan.
Obsesi politisi adalah kekuasaan (dipilih kembali), bukan dalam rangka mengupayakan kesejahteraan bangsa, melainkan sebagai akses ke fasilitas dan nikmat sosial. Celakanya, obsesi akan kekuasaan itu didukung sistem representasi. Sistem ini mendorong terjadinya konsentrasi berbagai sarana produksi khas politik di tangan para profesional (DPR, Pemerintah, dan pimpinan partai politik). Akibatnya, daya tawar mayoritas warga negara dilemahkan, kedaulatan rakyat
disita. Maka, politik harus menemukan mekanisme yang menjembatani wakil rakyat dan konstituennya, serta membangun sistem yang bisa mengontrol wakil rakyat, dan terutama partai politik. Mengapa?
Tindakan para politisi diandaikan memperhitungkan kepentingan nyata atau aspirasi konstituen. Ternyata, berbagai kepentingan rakyat itu hanya akan diperjuangkan bila memberi keuntungan kepada politisi dan sejauh mengalir dalam bentuk yang memungkinkan permainan mereka. Partai politik seharusnya berperan sebagai instrumen demokrasi. Namun, situasi sekarang justru menunjukkan partai politik menjadi bagian masalah. Indikasinya, para wakil rakyat cenderung ingkar janji terhadap konstituen dan lebih patuh pada partai politik, terutama kepentingan sendiri; sulitnya mengegolkan UU yang memungkinkan calon independen, maraknya korupsi wakil rakyat; money politics dalam pencalonan nomor jadi wakil rakyat.
Demokrasi didikte pasar?
Logika pasar mengarahkan politisi untuk lebih peduli kepada kepentingan pemodal. Jika kebijakan redistribusi dijalankan (menaikkan pajak), itu akan mengakibatkan penurunan investasi. Maka, perlu melunakkan tuntutan redistribusi dengan memperkuat kebijakan ekonomi yang kondusif untuk investasi. Pemerintahan demokratis secara struktural tergantung dari modal swasta. Apakah ketergantungan struktural negara pada kapital, menjelaskan hal itu atau tidak? Yang jelas, demokrasi yang riil ada “selaras dengan tingkat ketidaksetaraan yang fair” (A Przeworski, 1999).
Demokrasi menuntut mediasi dan diskusi. Untuk tujuan ini ruang publik menjadi syarat mutlak. Namun, ketika ruang publik masih ditentukan oleh jasa dan kepemilikan kapital, ia diskriminatif dan tidak berbeda dengan pasar (H Arendt, 1951). Lalu, politik bekerja mengikuti model pasar dan politik pencitraan. Politik masuk ke teknik merayu, seperti iklan yang digunakan untuk memasarkan tokoh, gagasan politik. Hanya masalahnya, supermarket dan mal emang benar-benar melayani kebutuhan konsumen meski menindas pekerja (R Sennett, 2006:135).
Ternyata, warga negara bukan sekadar konsumen yang tidak puas, warga negara adalah konsumen politik yang dihadapkan pada tekanan untuk membeli atau memilih. Keputusan memilih produk tergantung dari pencitraan dan pemasarannya. Versi politik model supermarket menekan demokrasi lokal, tetapi memungkinkan fantasi individu seperti iklan. Memang dinamika megastore ini menurunkan bobot isi dan substansi politik, tetapi merangsang imajinasi perubahan. Perubahan mendasar atau sekadar semu?
Perubahan dan emosi sosial
Saat ini perubahan menjadi mantra politik. Berubah dan bergerak menjadi indikator institusi yang dinamis. Institusi menarik bila menunjukkan tanda-tanda perubahan. Perubahan harus dibedakan dengan konflik internal partai politik yang menunjukkan kemapanan kekuasaan.
Stabilitas adalah tanda kelemahan, sedangkan destabilisasi tanda baik. Citra diri yang ideal ialah rela pergi, menyerahkan kepemilikan atau jabatan. Maka, parpol yang menunjukkan mobilitas pimpinannya akan mendapat banyak simpati. Ideal ini menjadi keharusan praktis bagi eksekutif yang mencoba menghadapi tekanan stakeholders atau konstituen yang tidak sabar, seperti tekanan kapital yang tidak sabar. Maka, harus selalu merekayasa diri, selalu memenuhi dan menggoyang pasar. Mobilitas dan kerelaan pimpinan untuk meninggalkan jabatan menunjukkan sistem yang berfungsi, bukan kekalahan.
Kekalahan merupakan risiko persaingan. Mereka yang kalah bersaing dan tersingkir akan merasa tidak berguna sehingga menambah emosi sosial kian membara. Mayoritas masyarakat merasa dipermainkan aturan yang tidak adil. Kebencian yang merupakan emosi sosial cenderung menyimpang dari ekonomi ke kemarahan terhadap kelompok sosial yang dianggap telah mengambil hak-hak sosial mereka.
Pada masa lalu agama dan patriotisme menjadi senjata balas dendam. Emosi ini belum lenyap. Kebencian itu menjelaskan mengapa banyak orang yang termarjinalisasi berpindah dari sikap moderat ke kelompok fundamentalis. Mereka menerjemahkan tekanan yang datang dari kelangkaan materi ke dalam simbol-simbol budaya (Sennett: 2006:132-133).
Kemarahan dan kekerasan sering digunakan sebagai cara untuk menghubungkan ekonomi dan politik. Di arena politik, simbol-simbol budaya atau agama bisa membungkus kemarahan dan kebencian sekaligus meningkatkan daya tawar melalui kapital sosial. Ternyata, rasa tidak aman dalam hal materi bisa menggunakan banyak cara guna menagih janji dan mengutuk mereka yang menggembar-gemborkan perubahan yang tak terencana. Politikus demagog jeli dalam memanfaatkan perasaan dan emosi massa untuk kepentingan politiknya.
Sumber kompas,Rabu,23april2008
Posting Komentar